Makna Hari Raya Galungan
SUARA BALAM- - Umat Hindu di Bali dan Nusantara, pada Rabu merayakan hari raya Galungan. Perayaan Hari Raya Galungan dan juga Kuningan merupakan rangkaian perayaan yang paling panjang di antara hari-hari raya Agama Hindu, dimana jarak waktunya selama 60 hari. Berikut rangkaian upacara Galungan dan Kuningan serta makna dari upacara-upacara tersebut.
1. Hari Sabtu Kliwon Wariga yang disebut dengan Tumpek Pengarah atau Pengatag, tepatnya 25 hari sebelum Hari Raya Galungan dan persembahan ditujukan kepada dewa Sankara (nama lain Dewa Siva)sebagai penguasa tumbuh-tumbuhan dengan mempersembahkan sesajen pada pohon-pohon kayu yang menghasilkan buah, daun, dan bunga yang akan digunakan pada Hari Raya Galungan.
2. Sugihan Jawa atau Sugihan Jaba ; yaitu Sebuah kegiatan rohani dalam rangka menyucikan bhuana agung (makrokosmos) yang jatuh pada hari Kamis Wage Sungsang. Kata Sugihan berasal dari urat kata Sugi yang artinya membersihkan dan Jaba artinya luar, jadi Hari Sugihan Jawa tersebut bukanlah hari Sugihan bagi para pengungsi leluhur-leluhur dari jawa pasca bubarnya Majapahit. Maksud sebenarnya adalah pembersihan Bhuana Agung - sekala-niskala.
Dalam lontar Sundarigama dijelaskan: bahwa Sugihan Jawa merupakan "Pasucian dewa kalinggania pamrastista bhatara kabeh" (pesucian dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara). Pelaksanaan upacara ini dengan membersihkan alam lingkungan, baik pura, tempat tinggal, dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci. Dan yang terpenting adalah membersihkan badan phisik dari debu kotoran dunia Maya, agar layak dihuni oleh Sang Jiwa Suci sebagai Brahma Pura.
3. Sugihan Bali; Jatuh pada hari Jumat Kliwon wuku Sungsang (sehari setelah Sugihan Jawa). Bali dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada dalam diri. Jadi Sugihan Bali memiliki makna yaitu menyucikan diri sendiri, sesuai dengan lontar Sundarigama: "Kalinggania amrestista raga tawulan" (oleh karenanya menyucikan badan jasmani-rohani masing-masing /mikrocosmos) yaitu dengan memohon tirta pembersihan /penglukatan. Manusia tidak saja terdiri dari badan phisik tetapi juga badan rohani (Suksma Sarira dan Antahkarana Sarira). Persiapan phisik dan rohani adalah modal awal yang harus diperkuat sehingga sistem kekebalan tubuh ini menjadi maksimal untuk menghadapi musuh yang akan menggoda pertapaan kita.
4. Panyekeban – puasa I ; Jatuh pada hari Minggu Pahing Dungulan.Panyekeban artinya mengendalikan semua indrya dari pengaruh negatif, karena hari ini Sangkala Tiga Wisesa turun ke dunia untuk mengganggu dan menggoda kekokohan manusia dalam melaksanakan Hari Galungan. Dalam Lontar Sunarigama disebutkan : "Anyekung Jnana" artinya mendiamkan pikiran agar tidak dimasuki oleh Bhuta Galungan dan juga disebutkan "Nirmalakena" (orang yang pikirannya yang selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Bhuta Galungan.
Melihat pesan Panyekeban ini mewajibkan umat Hindu untuk mulai melaksanakan Brata atau Upavasa sehingga pemenuhan akan kebutuhan semua Indriya tidak jatuh kedalam kubangan dosa; pikirkan yang baik dan benar, berbicara kebenaran, berprilaku bijak dan bajik, mendengar kebenaran, menikmati makanan yang sattvika, dan yang lain, agar tetap memiliki kekuatan untuk menghalau godaan Sang Mara. Jadi tidak hanya nyekeb pisang (biu) atau tape untuk bebantenan saja.
5. Penyajaan – puasa II ; jatuh pada hari Senin Pon Dungulan. Pada hari ini umat mengadakan Tapa Brata Yoga Samadhi dengan pemujaan kepada Ista Dewata. Penyajaan dalam lontar Sundarigama disebutkan : "Pangastawaning Sang Ngamong Yoga Samadhi" upacara ini dilaksanakan pada hari Senin Pon Dungulan. Dengan Wiweka dan Winaya, manusia Hindu diajak untuk dapat memilah kemudian memilih yang mana benar dan salah. Bukan semata-mata membuat kue untuk upacara.
6. Penampahan – puasa III ; jatuh pada hari Selasa Wage Dungulan tepat sehari sebelum hari Raya Galungan. Penampahan berasal dari kata tampah atau sembelih artinya ; bahwa pada hari ini manusia melakukan pertempuran melawan Adharma, atau hari untuk mengalahkan Bhuta Galungan dengan upacara pokok yakni Mabyakala yaitu memangkas dan mengeliminir sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri, bukan semata-mata membunuh hewan korban, karena musuh sebenarnya ada di dalam diri (Sad Ripu, Sad Atatayi, Sapta Timira, dll), dan bukan di luar diri kita termasuk sifat- sifat hewani tersebut.
Ini sesuai dengan lontar Sundarigama yaitu ; "Pamyakala kala malaradan". Inilah puncak dari Brata dan Upavasa umat Hindu, bertempur melawan semua bentuk Ahamkara - kegelapan yang bercokol dalam diri.
Hari Penampahan Galungan inilah yang pada dewasa ini paling kehilangan makna spiritualnya yang paling penting. Konsentrasi kebanyakan keluarga membuat makanan yang enak-enak. Padahal ada upakara penting di Madya Mandala untuk Memohon Tirta dari Luhuring Akasa dalam rangka me-nyomia Buta Kala di Bhana Agung dan Alit yang sering terlewatkan. Selama ini justru sebagain besar dari kita malah berpesta pora makan, lupa terhadap jati diri, menikmati makanan, mabuk. Sehingga bukan Nyomya Bhuta Kala- Nyupat Angga Sarira, malah kita akhirnya menjelma jadi Bhuta itu sendiri.
7. Galungan – lebar puasa ; Jatuh pada hari Rabu Kliwon wuku Dungulan, Hari ini merupakan hari kemenangan dharma terhadap adharma setelah berhasil mengatasi semua godaan selama perjalan hidup ini, dan merupakan titik balik agar manusia senantiasa mengendalikan diri dan berkarma sesuai dengan dharma dalam rangka meningkatkan kualitas hidup dan dalam usaha mencapai anandam atau jagadhita dan moksa serta shanti dalam hidup sebagai mahluk yang berwiweka.
8. Manis Galungan; Setelah merayakan kemenangan , manusia merasakan nikmatnya (manisnya) kemenangan dengan mengunjungi sanak saudara mesima krama dengan penuh keceriaan, berbagi suka cita, mengabarkan ajaran kebenaran betapa nikmatnya bisa meneguk kemenangan. Jadi pada hari ini umat Hindu wajib mewartakan-menyampaikan pesan dharma kepada semua manusia inilah misi umat Hindu Dharma. Cara menyampaikan ajaran kebenaran adalah dengan Satyam Vada yaitu mengatakan dengan kesungguhan dan kejujuran.
9. Pemaridan Guru; Jatuh pada hari Sabtu Pon Dungulan, maknanya pada hari ini dilambangkan dengan kembalinya Dewata-dewati, pitara-pitari, para leluhur ke tempat payogannya masing-masing dan meninggalkan anugrah berupa kadirgayusan yaitu ; hidup sehat umur panjang, dan hari ini umat menikmati waranugraha dari dewata. Di beberapa daerah dibali biasanya dilakukan dengan sarana banten "tegen-tegenan" yang berisi hasil bumi berupa padi, buah-buahan dan aneka rupa jajanan yang tujuannya diperuntukkan untuk memberikan bekal kepada para leluhur yang akan mantuk kembali ke sunya loka.
10. Pemacekan Agung; Jatuh pada hari Senen Kliwon wuku Kuningan. Tepat pada hari ini merupakan hari pertengahan dari rangkaian panjang hari raya Galungan. Hari ini tepat 30 hari dari sejak hari Tumpek Pengarah, dan 30 hari menjelang hari Pegat Uwakan (Buda Kliwon Pahang). Pada hari ini umat menancapkan dan meneguhkan tekadnya kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam menghadapi dan mengarungi kehidupan selanjutnya dengan senantiasa berjalan dalam koridor dharma. Pada hari ini dibeberapa wilayah dibali dilakukan persembahyangan dengan sarana raka ajengan tipat pesor sebagai rasa syukur dan sujud bakti kehadapanNya.
11. Sepuluh hari setelah Galungan disebut Kuningan. Pada Hari ini diyakini bahwa para dewata dan roh-roh leluhur akan turun ke marcapada/mayapada untuk menerima sembah bakti umat dan prati sentananya dengan segala cinta kasihnya, dan pada siang harinya para dewata dan roh suci leluhur kembali menuju kahyangan stana-nya masing-masing yang diyakini tempatnya di svargaloka (alam sorga). Kuningan merupakan hari kasih sayang, yang disimbulkan melalui berbagai pratika upakara seperti: tamiang, koleman, sulangi, tebo, dan endongan.
Rangkaian perayaan Galungan dan Kuningan berkahir pada Hari rabu Kliwon wuku Pahang yang sering disebut hari raya Pegat Uwakan. Pada hari ini umat melakukan persembahyangan mengahturkan suksmaning manah lan idep kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas karunia dan wara nugrahanya bisa melaksanakan rangkaian perayaan hari Raya Galungan dengan sempurna.
Demikian makna Hari Raya Galungan sebagai hari pendakian spritual dalam mencapai kemenangan /wijaya dalam hidup dan kehidupan ini, ditinjau dari sudut pelaksanaan upacara dan makna filosofisnya.
Kalander Bali dan Upakara serta Upacaranya sangat sinkron/matching dengan alam semesta. Sekali pun dipakai sarana bebantenan yang paling sederhana, manfaat yang didapatkannya tetap sangat luar biasa. Sekalipun dikerjakan oleh orang biasa yang tidak terlatih khusus dan tidak punya kemampuan batin tinggi, namun manfaat yang diberikan tetap berlaku.
1. Hari Sabtu Kliwon Wariga yang disebut dengan Tumpek Pengarah atau Pengatag, tepatnya 25 hari sebelum Hari Raya Galungan dan persembahan ditujukan kepada dewa Sankara (nama lain Dewa Siva)sebagai penguasa tumbuh-tumbuhan dengan mempersembahkan sesajen pada pohon-pohon kayu yang menghasilkan buah, daun, dan bunga yang akan digunakan pada Hari Raya Galungan.
2. Sugihan Jawa atau Sugihan Jaba ; yaitu Sebuah kegiatan rohani dalam rangka menyucikan bhuana agung (makrokosmos) yang jatuh pada hari Kamis Wage Sungsang. Kata Sugihan berasal dari urat kata Sugi yang artinya membersihkan dan Jaba artinya luar, jadi Hari Sugihan Jawa tersebut bukanlah hari Sugihan bagi para pengungsi leluhur-leluhur dari jawa pasca bubarnya Majapahit. Maksud sebenarnya adalah pembersihan Bhuana Agung - sekala-niskala.
Dalam lontar Sundarigama dijelaskan: bahwa Sugihan Jawa merupakan "Pasucian dewa kalinggania pamrastista bhatara kabeh" (pesucian dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara). Pelaksanaan upacara ini dengan membersihkan alam lingkungan, baik pura, tempat tinggal, dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci. Dan yang terpenting adalah membersihkan badan phisik dari debu kotoran dunia Maya, agar layak dihuni oleh Sang Jiwa Suci sebagai Brahma Pura.
3. Sugihan Bali; Jatuh pada hari Jumat Kliwon wuku Sungsang (sehari setelah Sugihan Jawa). Bali dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada dalam diri. Jadi Sugihan Bali memiliki makna yaitu menyucikan diri sendiri, sesuai dengan lontar Sundarigama: "Kalinggania amrestista raga tawulan" (oleh karenanya menyucikan badan jasmani-rohani masing-masing /mikrocosmos) yaitu dengan memohon tirta pembersihan /penglukatan. Manusia tidak saja terdiri dari badan phisik tetapi juga badan rohani (Suksma Sarira dan Antahkarana Sarira). Persiapan phisik dan rohani adalah modal awal yang harus diperkuat sehingga sistem kekebalan tubuh ini menjadi maksimal untuk menghadapi musuh yang akan menggoda pertapaan kita.
4. Panyekeban – puasa I ; Jatuh pada hari Minggu Pahing Dungulan.Panyekeban artinya mengendalikan semua indrya dari pengaruh negatif, karena hari ini Sangkala Tiga Wisesa turun ke dunia untuk mengganggu dan menggoda kekokohan manusia dalam melaksanakan Hari Galungan. Dalam Lontar Sunarigama disebutkan : "Anyekung Jnana" artinya mendiamkan pikiran agar tidak dimasuki oleh Bhuta Galungan dan juga disebutkan "Nirmalakena" (orang yang pikirannya yang selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Bhuta Galungan.
Melihat pesan Panyekeban ini mewajibkan umat Hindu untuk mulai melaksanakan Brata atau Upavasa sehingga pemenuhan akan kebutuhan semua Indriya tidak jatuh kedalam kubangan dosa; pikirkan yang baik dan benar, berbicara kebenaran, berprilaku bijak dan bajik, mendengar kebenaran, menikmati makanan yang sattvika, dan yang lain, agar tetap memiliki kekuatan untuk menghalau godaan Sang Mara. Jadi tidak hanya nyekeb pisang (biu) atau tape untuk bebantenan saja.
5. Penyajaan – puasa II ; jatuh pada hari Senin Pon Dungulan. Pada hari ini umat mengadakan Tapa Brata Yoga Samadhi dengan pemujaan kepada Ista Dewata. Penyajaan dalam lontar Sundarigama disebutkan : "Pangastawaning Sang Ngamong Yoga Samadhi" upacara ini dilaksanakan pada hari Senin Pon Dungulan. Dengan Wiweka dan Winaya, manusia Hindu diajak untuk dapat memilah kemudian memilih yang mana benar dan salah. Bukan semata-mata membuat kue untuk upacara.
6. Penampahan – puasa III ; jatuh pada hari Selasa Wage Dungulan tepat sehari sebelum hari Raya Galungan. Penampahan berasal dari kata tampah atau sembelih artinya ; bahwa pada hari ini manusia melakukan pertempuran melawan Adharma, atau hari untuk mengalahkan Bhuta Galungan dengan upacara pokok yakni Mabyakala yaitu memangkas dan mengeliminir sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri, bukan semata-mata membunuh hewan korban, karena musuh sebenarnya ada di dalam diri (Sad Ripu, Sad Atatayi, Sapta Timira, dll), dan bukan di luar diri kita termasuk sifat- sifat hewani tersebut.
Ini sesuai dengan lontar Sundarigama yaitu ; "Pamyakala kala malaradan". Inilah puncak dari Brata dan Upavasa umat Hindu, bertempur melawan semua bentuk Ahamkara - kegelapan yang bercokol dalam diri.
Hari Penampahan Galungan inilah yang pada dewasa ini paling kehilangan makna spiritualnya yang paling penting. Konsentrasi kebanyakan keluarga membuat makanan yang enak-enak. Padahal ada upakara penting di Madya Mandala untuk Memohon Tirta dari Luhuring Akasa dalam rangka me-nyomia Buta Kala di Bhana Agung dan Alit yang sering terlewatkan. Selama ini justru sebagain besar dari kita malah berpesta pora makan, lupa terhadap jati diri, menikmati makanan, mabuk. Sehingga bukan Nyomya Bhuta Kala- Nyupat Angga Sarira, malah kita akhirnya menjelma jadi Bhuta itu sendiri.
7. Galungan – lebar puasa ; Jatuh pada hari Rabu Kliwon wuku Dungulan, Hari ini merupakan hari kemenangan dharma terhadap adharma setelah berhasil mengatasi semua godaan selama perjalan hidup ini, dan merupakan titik balik agar manusia senantiasa mengendalikan diri dan berkarma sesuai dengan dharma dalam rangka meningkatkan kualitas hidup dan dalam usaha mencapai anandam atau jagadhita dan moksa serta shanti dalam hidup sebagai mahluk yang berwiweka.
8. Manis Galungan; Setelah merayakan kemenangan , manusia merasakan nikmatnya (manisnya) kemenangan dengan mengunjungi sanak saudara mesima krama dengan penuh keceriaan, berbagi suka cita, mengabarkan ajaran kebenaran betapa nikmatnya bisa meneguk kemenangan. Jadi pada hari ini umat Hindu wajib mewartakan-menyampaikan pesan dharma kepada semua manusia inilah misi umat Hindu Dharma. Cara menyampaikan ajaran kebenaran adalah dengan Satyam Vada yaitu mengatakan dengan kesungguhan dan kejujuran.
9. Pemaridan Guru; Jatuh pada hari Sabtu Pon Dungulan, maknanya pada hari ini dilambangkan dengan kembalinya Dewata-dewati, pitara-pitari, para leluhur ke tempat payogannya masing-masing dan meninggalkan anugrah berupa kadirgayusan yaitu ; hidup sehat umur panjang, dan hari ini umat menikmati waranugraha dari dewata. Di beberapa daerah dibali biasanya dilakukan dengan sarana banten "tegen-tegenan" yang berisi hasil bumi berupa padi, buah-buahan dan aneka rupa jajanan yang tujuannya diperuntukkan untuk memberikan bekal kepada para leluhur yang akan mantuk kembali ke sunya loka.
10. Pemacekan Agung; Jatuh pada hari Senen Kliwon wuku Kuningan. Tepat pada hari ini merupakan hari pertengahan dari rangkaian panjang hari raya Galungan. Hari ini tepat 30 hari dari sejak hari Tumpek Pengarah, dan 30 hari menjelang hari Pegat Uwakan (Buda Kliwon Pahang). Pada hari ini umat menancapkan dan meneguhkan tekadnya kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam menghadapi dan mengarungi kehidupan selanjutnya dengan senantiasa berjalan dalam koridor dharma. Pada hari ini dibeberapa wilayah dibali dilakukan persembahyangan dengan sarana raka ajengan tipat pesor sebagai rasa syukur dan sujud bakti kehadapanNya.
11. Sepuluh hari setelah Galungan disebut Kuningan. Pada Hari ini diyakini bahwa para dewata dan roh-roh leluhur akan turun ke marcapada/mayapada untuk menerima sembah bakti umat dan prati sentananya dengan segala cinta kasihnya, dan pada siang harinya para dewata dan roh suci leluhur kembali menuju kahyangan stana-nya masing-masing yang diyakini tempatnya di svargaloka (alam sorga). Kuningan merupakan hari kasih sayang, yang disimbulkan melalui berbagai pratika upakara seperti: tamiang, koleman, sulangi, tebo, dan endongan.
Rangkaian perayaan Galungan dan Kuningan berkahir pada Hari rabu Kliwon wuku Pahang yang sering disebut hari raya Pegat Uwakan. Pada hari ini umat melakukan persembahyangan mengahturkan suksmaning manah lan idep kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas karunia dan wara nugrahanya bisa melaksanakan rangkaian perayaan hari Raya Galungan dengan sempurna.
Demikian makna Hari Raya Galungan sebagai hari pendakian spritual dalam mencapai kemenangan /wijaya dalam hidup dan kehidupan ini, ditinjau dari sudut pelaksanaan upacara dan makna filosofisnya.
Kalander Bali dan Upakara serta Upacaranya sangat sinkron/matching dengan alam semesta. Sekali pun dipakai sarana bebantenan yang paling sederhana, manfaat yang didapatkannya tetap sangat luar biasa. Sekalipun dikerjakan oleh orang biasa yang tidak terlatih khusus dan tidak punya kemampuan batin tinggi, namun manfaat yang diberikan tetap berlaku.