Filosofis Alang-alang Dalam Hindu
Filosofi alang-alang dalam ajaran hindu banyak di kaitkan dengan pemuteran mandara giri. dimana Para Dewa dan Asura bekerja sama memutar Mandara giri, dimana Hyang Ananta Boga dan hyang Besuki melilit Mandara giri, dan sebagai penopangnya adalah Badawang Nala. Di symbolkan dalam wujud Padmasana. Setelah keluar Amerta nya dilarikan oleh Daitya Kala Rau (Rawi), tapi ketahuan dewi Ratih di panahlah kepalanya dengan Senjata Cakra oleh Dewa Wisnu. Dari situ ada cerita bulan Kepangan (Bulan caplok kala rawu). Sebelum sempat diambil oleh Ida Hyang Wisnu, sempat menetes sedikit kerumput alang-alang, terus dijilati oleh para naga/ular sehingga ular bisa berumur panjang dan lidahnya tersayat (terbelah) oleh alang-alang. Maka dari itu alang-alang juga di sebut tanaman panjang umur atau tanaman suci yang merupakan menjadi bahan penting dalam beberapa upacara keagamaan hindu.
Dilihat dari kehidupannya alang-alang memiliki filosofi yaitu Akar alang-alang memberi pelajaran bagi kita tentang pentingnya memiliki senjata bertahan hidup yang ampuh. Meski dipandang remeh karena terkesan sebagai ”sampah”, namun alang-alang sulit ditaklukkan karena ”senjata rahasia”nya. Banyak orang yang diremehkan bahkan dianggap sebagai sampah masyarakat yang sulit diberantas, ternyata memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan lain.
Tak sedikit orang yang dianggap sampah oleh masyarakat mempunyai daya tahan hidup yang luar biasa daripada orang mapan dan serba cukup. Mereka sudah sering ”dibakar” oleh lingkungan yang keras. Hasil ”pembakaran” itulah yang menumbuhkan semangat hidup untuk menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Maka kita saksikan tidak sedikit tokoh negeri ini lahir dari kehidupan mereka yang awalnya prihatin, sangat terbatas dan kadang dicela masyarakat. Akar alang-alang telah mengajari manusia bagaimana bertahan hidup dan tetap memberi manfaat diantara ”celaan-celaan” yang ditujukan padanya.
Selain itu, Banyak kisah cerita yang menguraikan dari fungsi alang-alang dalam agama Hindu. Seperti misalnya dalam naskah Siwa Gama, maupun dalam Adi Parwa. Termasuk pula beberapa kisah dari para balian, bahwa alang-alang merupakan senjata ampuh yang mematikan yang sering digunakan berperang di alam gaib. Seperti dikutip dalam puragunungsalak.com, Dalam naskah Siwa Gama dikisahkan, ketika perjalanan Bhagawan Salukat menemukan daun ilalang dalam kondisiya yang sudah kering dan berserakan. Konon dengan kondisinya yang seperti itu, ketika bertemu dengan Bhagawan Salukat ia pun memohon anugrah supaya dilebur dosanya. “Kasihanilah hamba Bhagawan” kata rumput ilalang memohon. Sungguh tak tega Sang Bhagawan menyaksikan alang-alang meratap seperti itu, dan akhirnya permohonannya yang tulus membuat hatinya terketuk seraya memberikan anugrah sambil merafalkan mantra. “Om kuan sri sarwwa pawitram, lingga sri ya namo namah swaha.” (Semoga kamu wajib merupakan perlambang bagi sang sadaka dan merupakan alat pelepas-penyucian-para arwah) ucap Bhagawan Salukat.
Dalam kisah lain mengenai alang-alang, Kitab Adi Parwa, parwa pertama dari delapan belas parwa, khususnya dalam cerita pemutaran lautan susu (Ksirarnawa). Diceritakan tentang kekalahan Dewi Winata, ibu dari Sang Garuda akibat kelicikan Dewi Kandru dalam menebak kuda yang muncul pada saat pemutaran Gunung Mandara giri untuk mendapatkan tirta amerta. Kuda yang sebenarnya muncul adalah kuda berwarna putih, namun karena tipu daya dari Dewi Kandru dengan anaknya Sang Naga, ekor kuda yang sebelumnya putih mulus disemburkan dengan bisanya sehingga tidak putih lagi.
Kekalahan tipu daya inilah yang menyebabkan Sang Winata menjadi budak. Sebagai budak, Dewi Winata ditugaskan untuk mengasuh putra-putra dari Dewi Kandru yang berjumlah ratusan naga. Mengasuh ratusan apalagi naga bukanlah suatu pekerjaan yang gampang. Apalagi naga-naga tersebut sulit sekali diatur. Sang Garuda sangat bersedih melihat ibunya seperti itu. Ia pun ingin membebaskan ibunya dari perbudakan tersebut. Namun ada sebuah persyaratan yang harus ia lakukan sebagai ganti maksudnya tersebut. Ia harus mencari Tirta Amerta di Gunung Somaka.
Sebagai anak yang berbakti kepada orang tua, lantas ia berangkat ke tempat tersebut. Penjagaan di Gunung Somaka cukup ketat. Namun berkat restu dari ibundanya serta perlindungan dari para Dewa, setelah melalui pertarungan yang sengit Tirta berhasil didapatkan, selanjutnya ia menyerahkan kepada ibundanya, untuk menebus agar tidak masih menjadi budak dari Dewi Kadru. Tirta itu berada di Kamandalu serta diikat dengan alang-alang. Sang Garuda berpesan mulai sekarang ibunya tidak lagi menjadi budak para naga. Selanjutnya ia menyarankan kepada para naga sebelum meminum Tirta Amerta harus mandi terlebih dahulu. Dengan kegirangan para naga mandi dan serta meninggalkan tirta tersebut.
Karena ditinggalkan serta tidak ada yang menjaga akhirnya tirta tersebut diambil oleh Dewa Indra. Dengan rasa sedih akibat tirta diambil , para naga hanya bisa berpuas menjilati titik-titik tirta yang jatuh pada daun alang-alang secara berebutan. Karena tajamnya daun alang-alang tersebut menyebabkan lidah para naga menjadi terbelah menjadi dua hingga kini. Begitu pula halnya daun alang-alang sampai kini diyakini diyakini sangat suci.
Mengenai kegunaan alang-alang bagi umat Hindu sering digunakan sebagai sarana penglukatan. Selain itu juga digunakan pada waktu upacara pawintenan, yakni dengan membuat alang-alang sebagai Carawista (alang alang yang dibentuk dan di ikatkan di kepala) yang digunakan untuk mengikat kepala dari orang yang mewinten.
Carawista maha diwyam, pawitram papanacanam nityam kucakram tisthati, sidhantam prati granati…
Carawista amat suci, dan pelebur dosa nestapa, ujung rumput alang-alang yang amat tajam, penunjang kepadanya yang bertahta dalam hati….
Ujung alang-alang yang amat runcing itu merupakan senjata gaib, untuk melebur dosa dan nestapa, penderitaan. Ujung yang tajam itu berperan sebagai symbol pedang dan lambang kekekalan dan keabadian. Daunnya yang runcing melambangkan peperti perjalanan manusia yang menghadap kepada-Nyayang bertahta didalam hati. Semakin jelas Carawista yang terbuat dari alang-alang adalah amat suci, yang disebut dengan istilah diwyam. Kegunaan lainnya ialah sebagai karowista, sehet (ikat) mingmang, berupa Nyasa Ciwa Lingga.
Alang-alang dalam bahasa bali disebut dengan ambengan. Secara niskala sebagai sarana penyucian ambengan dapat membuat segala sesuatu menjadi suci, itulah salah satu keagungan dari ambengan. Pemasangan Carawista sebagai gelung (ikat kepala) pada orang suci (Sulinggih) ketika menyelesaikan suatu upacara dan pada orang-orang yang sedang diupacarai, seperti pada upacara potong gigi, mewinten, mejaya-jaya, dan upacara yang lainnya, dimaksudkan untuk menjadikan badan suci, sehingga Hyang Widhi berkenan bertahta di dalam diri kita. Prosesi ini dilakukan pada saat prosesi pembersihan diri pabyakalan dan prosesi yang mengikuti selanjutnya adalah acara natab. Prosesi ini mengandung makna ketika sudah diikatkan Carawistapertanda badan sudah suci, selanjutnya barulah natab yang diarahkan ke dalam diri yang diupacarai. Ini mengandung makna upacara juga dipersembahkan kepada Ida Sang HYang Widhi yang telah berkenan bertahta di dalam hati yang telah dilakukan proses penyucian sebelumnya. Tak jauh beda halnya dengan pemasangan Carawista pada Ciwambha (sejenis periuk sebagai tempat pembuatan tirta oleh Sulinggih) dengan maksud agar secara niskala priuk tempat tirta dan airnya menjadi suci diterima oleh Ciwatman yang bersifat suci. Sementara untuk aled (alas) dari air suci tersebut juga terbuat dari rumput alang-alang yang sering disebut dengan lekeh.
untuk menonton film siva purana, silakan klik disini